PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN ATTANWIR
Sejak umur 10 tahun, H. Sholeh telah menjadi anak angkat H. Idris, maka segala kehidupannya juga menjadi tanggung jawabnya. Baik biaya belajar, mondok, naik haji, pernikahan dan lain sebagainya termasuk menyiapkan bangunan mushalla untuk tempat elajar dan berjama’ah, mushalla tersebut terbuat dari kayu jati, dinding serta jerambahnya dari bamboo dan ukuran luas kira-kira mampu menampung 40 orang. Mushalla tersebut dipersiapkan pada tahun 1925 M sejak H. Sholeh masih belajar di Pondok Pesantren Maskumambang dan diwakafkan termasuk tanahnya.
Meskipun sudah mempersiapkan tempat mengajar, tetapi sepulang dari pondok pada tahun 1927 M, H. Sholeh tidak langsung mengajar, sebab oleh bapak angkatnya (H. Idris) diserahi dan mengatur dan mengurusi rumah tangga serta mengurusi barang-barang milik H. Idris, karena pada waktu itu beliau menderita sakit mata sampai tidak bias melihat (buta). Jadi kegiatan dan perhatiannya ditempatkan untuk mengatur rumah tangga dan mencukupi kehidupan rumah tangganya.
Tahun 1933 M, setelah rumah tangga dan kehidupan rumah tangganya tertata, maka mulai memikirkan dan merintis kegiatan mengajar anak-anak di mushalla yang telah dipersiapkan dimulai dari mengajar membaca al-qur’an, tulis menulis huruf arab, cara-cara beru=ibadah dan sebagainya. Waktu mengajar sore hari mulai ba’da asyar sampai isya’ pada setiap hari.
Kegiatan ini dilakukan seorang diri denga penuh ketelatenan, keuletan, kesabaran dan keihklasan. Setelah beberapa waktu berjalan, Alhamdulillah hasilnya mulai tampak, kalau sebelumnya yang belajar hanya anak-anak desa talun yang jumlahnya kurang dari sepuluh anak. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak-anak dari desa sekitarnya mulai berdatangan ikut belajar hingga jumlahnya mencapai 40 anak lebih. Tidak ketinggalan para orang tua mereka juga mulai belajar dengan kesadaran mereka sendiri.
Tahun 1938 M, (dengan pertimbangan) karena persyaratan telah terpenuhi, maka diadakan shalat jum’at, yang pembukaannya dihadiri oleh K.H Hasyim (penghulu di Bojonegoro waktu itu). Dan sekaligus memberikan nasihat/ mauidhoh kepada para jama’ah setelah shlat jum’at.
Hasilnya sangat menggembirakan, mereka tampak semakin bersemangat dan tekun beribadah. Dan jumlahnya juga semakin bertambah banyak, sedangkan sarana nya masih sangt terbatas. Perlu juga disebutkan bahwa perkembangan pesantren yang tampak menggembirakan itu bukan berarti tanpa ada hambatan, justru hambatan itu dating dari kepala desa talun itu sendiri. Dia sangat tidak senang melihat perkembangan pesantren, dia orang abangan, dia sering mendatangi rumah K.H. Sholeh hanya perlu berdebat masalah agama. Dan setiap debat dia selalu kalah, akhirnya dengan ma’unah dan hidayah Allah SWT, dia sadar dan meninggalkan kepercayaan yang lama dan menyataka memeluk agama islam. Alhamdulillah.
Sejak saat itu dia(kepala desa) selalu mendekatkan diri kepada H. Sholeh dan minta diajari keimanan dan tata ibadah. Akhirnya dia menjadi pemeluk agama islam yang taat dan tekun beribadah, serta suka berkorban untuk kepentingan kegiatan agama.
Makin lama jumlah pemeluk islam semakin bertambah, akhirnya mushalla yang ditempati kegiatan belajar mengajar dan berjama’ah tidak mampu menampung mereka yang jumlahnya setiap waktu semakin bertambah. Melihat kenyataan ini maka kepala desa membeli rumah dari kayu jati dengan ukuran lebih besar, dan selanjutnya diwakafkan untuk masjid. Sedangkan mushalla yang ada digunakan tempat mengajar dan asrama santri putra.
Sementara kegiatan belajar mengajar masih berjalan sebagaimana biasa, yaitu dengan system weton dan sorogan dan hanya ditangani sendiri oleh K.H. Sholeh.
Sejalan dengan perjalanan waktu, jumlah santripun bertambah banyak, tidak hanya santri putra saja, santri putripun jumlahnya semakin banyak. Dan diantara mereka ada yang dating dari luar desa/ daerah, maka terpaksa harus menyediakan kamar/ gotakan tempat mereka. Demikian pula tenaga mengajarpun ditambah. Untuk itu Ustadz Asnawi dan Ustadz Sarbini ditugasi membantu mengajar mereka, kegiatan terdebut berjalan sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan segala keterbatasan dan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan siri khas sebagai lembaga pendidikan pesantren yang islami ala Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pondok pesantren attanwir mempunyai fungsi ganda yaitu dakwah dan pendidikan, oleh karena itu peran dan fungsinya menjadi sangat strategis, dan peran tersebut secara bertahap selalu diupayakan pelaksanaannya sesuai dengan kemampuan dan perkembangan situasi setiap waktu.
Dengan semakin berkembang dan majunya dunia pendidikan serta meningkatnya tuntutan masyarakat, maka keberadaan pondok pesantren attanwir juga dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu dengan membuka madrasah diniyyah khusus anak putrid, waktu belajar sore hari, lama belajar 3 tahun. Pada tahun pertama (tahun 1951 M) ada 40 anak, pada tahun berikutnya sudah mencapai 100 anak. Sedang untuk santri putra untuk sementara masih tetap diajar malam hari seperti biasa.
Berkat ketekunan dan keihklasan K.H Sholeh, kesadaran ummat semakin meningkat, keimanannya semakin mantab, dukungannya terhadap pesantren juga semakin besar. Kemudian pada tahun 1954 M, system pendidikan ditingkatkan lagi, dari diniyyah menjadi ibtida’iyyah 6 tahun putra-putri, waktu belajar pagi hari.
Sejak umur 10 tahun, H. Sholeh telah menjadi anak angkat H. Idris, maka segala kehidupannya juga menjadi tanggung jawabnya. Baik biaya belajar, mondok, naik haji, pernikahan dan lain sebagainya termasuk menyiapkan bangunan mushalla untuk tempat elajar dan berjama’ah, mushalla tersebut terbuat dari kayu jati, dinding serta jerambahnya dari bamboo dan ukuran luas kira-kira mampu menampung 40 orang. Mushalla tersebut dipersiapkan pada tahun 1925 M sejak H. Sholeh masih belajar di Pondok Pesantren Maskumambang dan diwakafkan termasuk tanahnya.
Meskipun sudah mempersiapkan tempat mengajar, tetapi sepulang dari pondok pada tahun 1927 M, H. Sholeh tidak langsung mengajar, sebab oleh bapak angkatnya (H. Idris) diserahi dan mengatur dan mengurusi rumah tangga serta mengurusi barang-barang milik H. Idris, karena pada waktu itu beliau menderita sakit mata sampai tidak bias melihat (buta). Jadi kegiatan dan perhatiannya ditempatkan untuk mengatur rumah tangga dan mencukupi kehidupan rumah tangganya.
Tahun 1933 M, setelah rumah tangga dan kehidupan rumah tangganya tertata, maka mulai memikirkan dan merintis kegiatan mengajar anak-anak di mushalla yang telah dipersiapkan dimulai dari mengajar membaca al-qur’an, tulis menulis huruf arab, cara-cara beru=ibadah dan sebagainya. Waktu mengajar sore hari mulai ba’da asyar sampai isya’ pada setiap hari.
Kegiatan ini dilakukan seorang diri denga penuh ketelatenan, keuletan, kesabaran dan keihklasan. Setelah beberapa waktu berjalan, Alhamdulillah hasilnya mulai tampak, kalau sebelumnya yang belajar hanya anak-anak desa talun yang jumlahnya kurang dari sepuluh anak. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak-anak dari desa sekitarnya mulai berdatangan ikut belajar hingga jumlahnya mencapai 40 anak lebih. Tidak ketinggalan para orang tua mereka juga mulai belajar dengan kesadaran mereka sendiri.
Tahun 1938 M, (dengan pertimbangan) karena persyaratan telah terpenuhi, maka diadakan shalat jum’at, yang pembukaannya dihadiri oleh K.H Hasyim (penghulu di Bojonegoro waktu itu). Dan sekaligus memberikan nasihat/ mauidhoh kepada para jama’ah setelah shlat jum’at.
Hasilnya sangat menggembirakan, mereka tampak semakin bersemangat dan tekun beribadah. Dan jumlahnya juga semakin bertambah banyak, sedangkan sarana nya masih sangt terbatas. Perlu juga disebutkan bahwa perkembangan pesantren yang tampak menggembirakan itu bukan berarti tanpa ada hambatan, justru hambatan itu dating dari kepala desa talun itu sendiri. Dia sangat tidak senang melihat perkembangan pesantren, dia orang abangan, dia sering mendatangi rumah K.H. Sholeh hanya perlu berdebat masalah agama. Dan setiap debat dia selalu kalah, akhirnya dengan ma’unah dan hidayah Allah SWT, dia sadar dan meninggalkan kepercayaan yang lama dan menyataka memeluk agama islam. Alhamdulillah.
Sejak saat itu dia(kepala desa) selalu mendekatkan diri kepada H. Sholeh dan minta diajari keimanan dan tata ibadah. Akhirnya dia menjadi pemeluk agama islam yang taat dan tekun beribadah, serta suka berkorban untuk kepentingan kegiatan agama.
Makin lama jumlah pemeluk islam semakin bertambah, akhirnya mushalla yang ditempati kegiatan belajar mengajar dan berjama’ah tidak mampu menampung mereka yang jumlahnya setiap waktu semakin bertambah. Melihat kenyataan ini maka kepala desa membeli rumah dari kayu jati dengan ukuran lebih besar, dan selanjutnya diwakafkan untuk masjid. Sedangkan mushalla yang ada digunakan tempat mengajar dan asrama santri putra.
Sementara kegiatan belajar mengajar masih berjalan sebagaimana biasa, yaitu dengan system weton dan sorogan dan hanya ditangani sendiri oleh K.H. Sholeh.
Sejalan dengan perjalanan waktu, jumlah santripun bertambah banyak, tidak hanya santri putra saja, santri putripun jumlahnya semakin banyak. Dan diantara mereka ada yang dating dari luar desa/ daerah, maka terpaksa harus menyediakan kamar/ gotakan tempat mereka. Demikian pula tenaga mengajarpun ditambah. Untuk itu Ustadz Asnawi dan Ustadz Sarbini ditugasi membantu mengajar mereka, kegiatan terdebut berjalan sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan segala keterbatasan dan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan siri khas sebagai lembaga pendidikan pesantren yang islami ala Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pondok pesantren attanwir mempunyai fungsi ganda yaitu dakwah dan pendidikan, oleh karena itu peran dan fungsinya menjadi sangat strategis, dan peran tersebut secara bertahap selalu diupayakan pelaksanaannya sesuai dengan kemampuan dan perkembangan situasi setiap waktu.
Dengan semakin berkembang dan majunya dunia pendidikan serta meningkatnya tuntutan masyarakat, maka keberadaan pondok pesantren attanwir juga dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu dengan membuka madrasah diniyyah khusus anak putrid, waktu belajar sore hari, lama belajar 3 tahun. Pada tahun pertama (tahun 1951 M) ada 40 anak, pada tahun berikutnya sudah mencapai 100 anak. Sedang untuk santri putra untuk sementara masih tetap diajar malam hari seperti biasa.
Berkat ketekunan dan keihklasan K.H Sholeh, kesadaran ummat semakin meningkat, keimanannya semakin mantab, dukungannya terhadap pesantren juga semakin besar. Kemudian pada tahun 1954 M, system pendidikan ditingkatkan lagi, dari diniyyah menjadi ibtida’iyyah 6 tahun putra-putri, waktu belajar pagi hari.
baca selengkapnya di sini
No comments:
Post a Comment